Lagi-Lagi, Oknum Romo Tiduri Istri Umatnya, Hingga Wanita Itu Meninggal

  



***Disclaimer: Tulisan ini merupakan kisah nyata yang dikirimkan kepada redaksi SuluhDesa.com dari seseorang yang meminta supaya identitasnya dirahasiakan. Tulisan ini adalah pengalaman pahit yang dialaminya sendiri.
Kamis Putih adalah momentum untuk membagikan kegembiraan kepada dunia. Kamis Putih juga merupakan pesta imamat bagi para Imam. Gereja memperingati malam ketika Kristus melembagakan Ekaristi dan imamat dengan kata-kata, “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Aku!

Pada setiap kali misa, seorang Imam mengatakan dalam PERSONA CHRISTI kata-kata Yesus itu. Juga pada malam Kamis Putih, setiap Imam menghidupkan kembali lembaga imamat pentahbisannya sendiri.

Pada hari itu juga seluruh Gereja bersukacita bersama mereka dalam harta keimamatan yang memberi mereka Ekaristi dan Sabda Tuhan.

Pada hari pesta imamat ini, saya ingin membagikan pengalaman hidup yang benar-benar menguji iman saya.


Dulu saya adalah aktivis di sebuah Paroki. Sebagai salah satu keluarga muda, saya dan isteri aktif dalam kegiatan pendampingan kaum muda di Paroki.

Isteri saya bekerja di kantor akuntan publik swasta yang di-hire oleh Keuskupan untuk mengaudit keuangan paroki-paroki. Keuskupan menggunakan jasa kantor akuntan publik ini katanya biar lebih independen.

Nah, isteri saya ini dan kantor akuntan publiknya sering diajak oleh tim Keuskupan untuk membantu audit ke paroki. Saya pernah ikut mengantar isteri saya ke salah satu paroki yang terkait dengan uang kolekte yang “disimpan dengan sangat baik”.

Seiring waktu, rupanya isteri saya menjalin hubungan yang tidak biasa dengan salah satu Romo di Keuskupan, hingga kemudian terjadilah perselingkuhan. Peristiwa ini terjadi antara tahun 2008-2010.

Pasti banyak yang bertanya-tanya bagaimana saya bisa mengatakan bahwa isteri saya berselingkuh dengan si Romo?


Saat itu saya memang bereaksi sangat keras. Pada awalnya, isteri saya menolak mengakui perbuatannya dan saya percaya isteri saya tidak berbohong. Tapi entah mengapa, di suatu malam, seperti ada yang menuntun saya untuk membuka kisah perselingkuhan mereka.

Saya bermaksud mengambil tusuk gigi bekas dari kantong celana saya, yang sudah saya letakkan di keranjang cucian. Saya pikir kasihan, kalau besok isteri saya tertusuk saat mencuci.

Saat itulah saya melihat ada rambut kemaluan di celana dalam isteri saya. Mendadak muncul kecurigaan saya karena kami sedang tidak berhubungan seks. Rambut siapakah itu? Agak aneh bentuknya.


Besoknya saya langsung ke lab untuk tes DNA. Petugas lab memang bertanya-tanya untuk apa tes DNA rambut itu. Tapi ini kan Indonesia, saya bisa selesaikan pertanyaannya dengan sejumlah uang.

Hasil lab menunjukkan bahwa itu bukan rambut isteri maupun rambut saya. Setelah itu saya ajak bicara isteri saya baik-baik tapi dia belum mau mengakui. Baru sekian bulan setelah itu dia akhirnya mengakui perbuatannya.

Romo yang menjalin hubungan dengan isteri saya masih relatif muda. Tiga puluh enam tahun. Saya perkirakan di tahun itu ereksinya masih maksimal.

Saya tidak berani menduga, hanya menurut saya, hubungan seks yang dilakukan dengan berulang kali itu kemungkinan besar telah dilakukan juga pada beberapa perempuan lain.

Saya mencoba berdialog dengan Vikjen tentang masalah saya. Saya merasa nyaman melakukan proses mediasi dengan Beliau. Saat itu, Vikjen Keuskupan belum dijabat si rambut putih, mantan manajer perusahaan papan atas.

Vikjen yang ini sangat terbuka. Beliau sempat bermaksud mempertemukan saya dengan si imam, namun sayangnya pada saat yang dijanjikan, si imam tidak datang. Akhirnya saya dan Vikjen makan bakso di dekat gereja.


Vikjen ini memang baik sekali. Hanya karena kebaikannya itu pasti tertinggal dengan derap langkah kota metropolitan sehingga akhirnya jabatannya diakhiri.

Kalau Vikjen yang sekarang ini saya tidak kenal banyak karena ketika dia naik takhta dari suatu Paroki, posisi saya sedang di luar gereja. Sedang asik mencoba berbuat baik tanpa melalui jalur agama.

Karena peristiwa yang menimpa keluarga kami itulah, maka saya terpaksa jadi mendengar banyak hal serupa yang dialami para pria yang isterinya menjalin hubungan dengan imam.

Tahun 2012 isteri saya sakit dan akhirnya meninggal.

Saya pikir Tuhan tidak adil dengan mencabut nyawa isteri saya. Tapi saya bersyukur, tidak ada anak dari hubungan terlarang mereka.

Tahun 2013-2014, setelah kepergian isteri saya, Dewan Paroki di Paroki tetangga saya mengajukan gugatan terhadap imam yang menjalin hubungan dengan isteri saya.


Dari situ saya tahu, ternyata imam itu berulah lagi dengan wanita lain. Entah apakah kasus itu sudah sampai ke Kardinal atau belum. Saya tidak mengikuti lagi kasusnya. Saya dengar dari teman-teman Dewan Paroki, kasus itu juga kandas di hadapan “si rambut putih”.

Jadi, tentu saja sampai hari ini tidak ada bukti medis yang menyatakan bulu siapa yang ada di celana dalam isteri saya.

Ini murni hanya atas pengakuan almarhum isteri saya. Hanya tentu saja saya tidak tega mengandaikan bahwa ada lelaki lain lagi yang tidak diakui isteri saya. Cukup dengan menganggap bahwa bulu itu adalah milik si imam menurut versi isteri saya saja

Kalau memang bulu itu bukan milik si imam tentu dia berani datang dan mengakui perbuatannya pada Vikjen yang mewakili Uskup.

Memang di tahun-tahun terjadinya peristiwa itu, saya sibuk sekali dengan pekerjaan saya. Isteri yang berprofesi sebagai akuntan juga demikian. Meskipun pertemuan kami singkat tapi cukup intens dan itu membuat kami dekat satu sama lain.

Kadang saya bertanya-tanya, apakah bagi wanita, seks itu suatu kebutuhan dalam pasangan suami isteri?

Memang kami hanya melakukan seminggu atau dua minggu sekali. Dengan intensitas pertemuan yang minim, salah satu konsekuensinya memang ada sejumlah hal kecil yang tidak dapat kami peroleh. Tapi anehnya dengan si Romo itu bahkan lebih jarang lagi bertemu tapi toh terjadi juga.

Ketika itu, memang saya merasa isteri saya lebih cepat orgasme. Ternyata ada pemantiknya.

Dugaan saya, dengan si Romo, isteri saya selalu mendapat orgasmenya tetapi dengan saya tidak. Atau mungkin dia pura-pura orgasme untuk mengelabui saya. Ampuni kami Tuhan.


Isteri saya mengaku melakukan perbuatan terlarangnya itu dalam tahun 2009. Dia menyebutkan jumlahnya tetapi keburu saya melempar sesuatu ke patung Maria besar yang ada di rumah. Jadi saya tidak pernah dengar berapa kali mereka melakukan.

Sejak tahun 2008 kami memang menjalin pertemanan dengan Romo itu untuk suatu kegiatan pelayanan kaum muda tetapi entahlah saya tidak aware lagi ketika di luar pertemuan itu mereka melanjutkan juga ke tempat dan suasana yang berbeda.

Pernah di suatu masa Pra Paskah, saya mencoba berniat mengakhiri hidup si Romo. Saya datang ke gerejanya untuk mengaku dosa dengan senjata api dalam jaket.

Saya bertanya kepada panitia apakah saya bisa mengaku dosa dengan Romo itu. Panitia bilang tidak bisa. Entah mengapa saya membatalkan niat untuk menggunakan senjata itu lalu pulang ke rumah, bertemu isteri dan bercinta dengannya. Astaga, manusia oh manusia.

Sampai sekarang, Romo itu masih berkarya dan masih memiliki kuasa karena Dewan Paroki tetangga kami pernah menaikkan kasusnya ke keuskupan namun nge-freeze, seperti internet kehabisan kuota.


Saat ini dia masih bertugas di sebuah Paroki. Memang demikian gagalnya pembinaan para imam Katolik ini. Sayang sekali.

Di kawasan kota T ada juga imam yang dipergoki umat beberapa kali, hingga kasusnya naik ke keuskupan, tapi kemudian membeku seperti es.

Saya menduga hampir semua imam (khususnya Imam Diosesan) di Keuskupan ini punya “simpanan”. Tetapi mungkin mereka saling pegang kartu. Makanya Uskup pun menyangkal adanya laporan skandal seksual semacam ini.

Kadang muncul pertanyaan dalam pikiran saya, “Sebagai wanita bersuami, bagaimana isteri kami yang Katolik ini dapat menikmati hubungan seks dengan seorang imam?.

Saya akui, para imam ini memiliki kharisma tersendiri sehingga secara psikologis, wanita yang biasanya membutuhkan pengayoman akan mudah terjatuh dalam wibawa dan kharismanya.

Kadang saya ikut bersyukur jika ada Romo yang didoakan kesembuhan dari kanker prostatnya. Secara medis gangguan prostat bisa disebabkan karena jarangnya sperma dikeluarkan. Mestinya ini bisa diatasi.

Bukankah lebih mudah mengaku dosa, “Romo, saya tidak bisa menahan diri sehingga saya melakukan masturbasi setiap hari. Dibandingkan, “Romo saya tidak bisa menahan diri, sehingga saya berhubungan dengan seorang wanita.”

Seandainya saja Romo predator itu rutin melakukan dosa masturbasi, setidaknya dia akan terhindar dari dosa berhubungan seks. Dosa masturbasi hanya dia yang rugi. Dosa hubungan seks ikut membawa orang lain berdosa dan merusak rumah tangga umatnya sendiri.

Dari kejadian ini juga saya berpikir, pengelolaan libido seks harus terang-terangan dibina dan disiapkan di seminari. Sayang sekali jika 12 tahun pendidikan calon imam tetapi akhirnya Mr. P hanya digunakan untuk pipis. Memang hubungan suami isteri yang kurang harmonis juga bisa menjadi penyebab.

Ini yang membuat saya berpikir ulang, apa pengertian harmonis? Saya pikir kami sudah hidup sangat harmonis tapi tetap saja ritsleting si imam rela dibuka untuk isteri saya. Miris sekali.

Salah satu titik tolak mengapa saya berhenti menuntut Gereja atas kasus yang kami hadapi adalah sebuah permenungan bahwa hubungan seks itu (di luar kasus perkosaan) adalah tindakan yang terjadi atas dasar suka sama suka.

Jadi, saya harus terlebih dahulu menuntaskan persoalan seks yang dihadapi isteri saya hingga dia merelakan diri berhubungan dengan imam tertahbis itu.

Saya terus mencari jawabannya. Tapi akhirnya saya putuskan berhenti mencari setelah isteri saya meninggal. Biarlah, mungkin nanti di surga sana (jika ada) saya bisa tanyakan kepada para malaikatnya.

Ketika menghadiri perayaan ekaristi di gereja, bukanlah hal yang mudah untuk menghadirkan tubuh dan darah Kristus yang dihunjukkan oleh tangan imam yang sekaligus bisa melakukan foreplay kepada wanita.

Sejak saat itu, saya tidak lagi berdoa apalagi mengikuti perayaan ekaristi. Enam tahun lamanya saya mengalami pergumulan ini. Namun saya masih berusaha untuk bertuhan, meskipun tidak mudah. Saya mencoba menutup kisah kelam itu dan mencoba untuk move on.

Setelah ditinggal pergi isteri, saya berniat ganti arah menjadi manusia bebas, tidak menikah lagi. Tahun 2017 saya berdinas di luar Indonesia. Ternyata saya dipertemukan dengan seorang gadis asal Semarang.

Dia beragama Protestan. Tahun 2018 kami menikah secara Katolik setelah dia bersedia menerima baptisan Katolik. Saya mencoba belajar berdoa kembali dan mengikuti perayaan ekaristi bersama isteri saya yang baru.

Tahun 2019 anak kami lahir dan kemudian mereka berdua menyusul ke tempat saya berdinas saat itu.

Namun, mungkin keputusan saya keliru. Tuhan yang katanya mahabaik itu, lagi-lagi mengambil isteri saya yang kedua ini..

Tahun 2020, Pandemi Covid periode pertama yang bikin sengsara orang sedunia itu, ikut merenggut nyawanya. Meninggalkan saya dan anak kami yang sekarang berusia tiga tahun.

Lantas di mana Mahakasihnya Tuhan?

Saya kadang tidak habis pikir, bagaimana seorang imam yang dididik belasan tahun tidak bisa mengendalikan nafsu birahinya.

Apakah sebaiknya romo-romo yang seperti itu keluar dari imamatnya dan kemudian menikah? Saya pikir itu bukan solusi. Kelak dia juga akan menjadi peselingkuh dengan isterinya. Kaul kemurnian, mereka tergoda wanita.

Kaul kemiskinan, mereka tergoda umat mahakaya yang menawarkan uang untuk memperlancar kepentingan. Kaul ketaatan? Taat pada siapa? Janji pada Tuhan saja mereka khianati.

Itu berarti mereka sudah mengalami disfungsi kaul. Jadi, romo macam begini, menggauli banyak wanita pun tidak dalam konteks memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan.


Memang para imam itu dididik untuk mampu menjalin komunikasi terutama dengan umat dan pastinya mereka pintar ngomong. Tetapi bagaimana mentransformasi pintar ngomong ke pintar bergoyang pinggul itu yang saya tidak habis pikir. Saya yakin itu tidak diajarkan di seminari tetapi menjadi pengalaman hidup dari si imam pribadi.

Jadi, sungguh pun konsultasi dengan imam sudah ada aturannya, tetap saja peluang untuk berhalusinasi seks dengan umat bisa muncul saat pengakuan dosa. Apalagi dikonsultasikan oleh seorang isteri kepada imamnya.

Saya akui, yang seperti ini menunjukkan umatnya yang tidak menempatkan diri dengan benar. Sudah tahu imam tidak punya pengalaman soal hubungan suami isteri kok ya masalah rumah tangga dikonsultasikan ke imam.

Saya jadi membayangkan jika saya menjadi seorang imam lalu menerima pengakuan dosa dari seorang umat wanita. Si wanita mengatakan, “Romo, dosa saya 3 bulan terakhir ini adalah melakukan masturbasi karena saya merasakan kurangnya kepuasan seks dari suami saya.

”Nah, bayangkan, saya sebagai laki-laki yang tidak segera sadar akan janji selibat saya, kemungkinan besar akan membayangkan betapa nikmatnya tubuh wanita ini.

Lalu saya keluar sebentar menemui panitia dan dengan wajah garang menanyakan, “Tolong carikan identitas dari ibu yang baru saja selesai mengaku dosa dengan saya tadi.” Lalu panitia itu pun menjawab, “Baik Romo, akan saya carikan.” Maka terjadilah selanjutnya.


Seks merupakan sesuatu yang indah dan anugerah yang suci dari Allah. Dengan seks itu juga pasangan suami isteri saling menunjukkan kasih sayang dan cintanya.

Tapi ternyata seks juga yang membuat manusia lupa akan janji suci di hadapan Tuhan. Janji sakramen pernikahan kepada pasangannya dan janji imamat untuk hidup selibat demi relasi total dengan Tuhan.

Saya menduga masih ada suami-suami lain yang mengalami luka seperti saya. Luka yang disebabkan oleh hierarki gereja beserta kebijakannya. Seperti yang dialami oleh umat di Keuskupan tetangga saya.

Berbeda dengan saya yang memilih untuk melupakan kasus yang saya alami, Pak R memilih jalan menuntut keadilan melalui media sosial (FB).

Hampir tiga tahun, sejak tahun 2019, ia terus berisik di wall FB-nya. Cara ini dia tempuh setelah upaya penyelesaian kasus secara musyawarah kekeluargaan tidak kunjung mendapat respon positif dari pihak Keuskupan.

Pak R juga mengalami nasib yang hampir sama dengan saya. Saya mengetahui kisahnya dari postingan dan tulisan di FB-nya.

Kadang saya merenung dan bertanya dalam hati, berapa banyak lagi keluarga yang dikorbankan karena ulah segelintir imam yang tidak bisa menahan libidonya.

Berapa banyak lagi perempuan yang jadi korban janji manis para imam yang tidak setia pada janji imamatnya sendiri?

Berapa banyak lagi anak-anak dalam keluarga Katolik yang harus mengalami beban psikis karena peristiwa yang terjadi pada orangtua mereka?


Namun saya optimis, masih lebih banyak imam yang nggenah dibandingkan yang ngawur hidupnya. Hanya saja yang nggenah ini biasanya terlindas dengan kekuatan yang mahadahsyat.

Saya juga percaya, pengalaman hidup kami sekeluarga yang sudah saya akhiri ini tidak untuk semata-mata dijadikan bahan bakar banyak orang yang masih sangat emosional dengan sikap dan kebijakan hierarki Gereja.

Saat ini saya sedang memilah-milah, menempatkan diri antara beragama dan menggereja. Mencoba berkomitmen untuk menata hidup dengan lebih baik dan berkualitas demi manusia-manusia lain.

Mungkin diperlukan gerakan umat semesta untuk memberi masukan secara konstruktif pada perkembangan gereja.

Setahu saya di KWI itu ada Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI). Forum itu jangan dijadikan forum normatif. Harusnya bisa dijadikan forum konstruktif oleh para umat awam yang memiliki wawasan teologi lebih dari cukup.

Semoga kisah perjalanan hidup yang saya sampaikan ini bisa menjadi konsumsi publik yang membangun dan menguatkan iman.

Semoga doa-doa umat beriman senantiasa menyertai para imam yang masih taat dan setia dalam panggilannya.

Dan akhir kata, semoga Tuhan berkenan mengampuni para gembala yang tersesat. Salam. Sumber: suluhdesa.com.

***Disclaimer: Tulisan ini merupakan kisah nyata yang dikirimkan kepada redaksi SuluhDesa.com dari seseorang yang meminta supaya identitasnya dirahasiakan. Tulisan ini adalah pengalaman pahit yang dialaminya sendiri.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel